PENGARUH YAHUDI DALAM AL-QUR’AN

Pendahuluan

Studi kritis terhadap Al-Qur’an dan tokoh-tokoh yang memegang peranan penting dalam penyebarannya menjadi topik yang hangat di kalangan kaum orientalis. Pada awalnya mereka mempelajari Al-Qur’an berdasarkan motif untuk mencari kebenaran apakah Al-Qur’an adalah produk budaya atau merupakan wahyu Tuhan. Akan tetapi kajian mereka cenderung membawa semangat anti keislaman dimana pada abad ke-18 diadakan kongres orientalis untuk menyetujui tujuan tersebut.

Penyelidikan tentang tokoh sejarah Al-Qur’an dari sudut pandang sejarah membawa para orientalis pada beberapa kesimpulan yang dianggap terbukti ilmiah. Diantaranya adalah pendapat yang menyatakan bahwa Muhammad saw adalah seorang pedofil dengan mengajukan bukti sejarah Muhammad saw menikahi Aisyah pada usia yang sangat dini. Selain itu ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Muhammad saw adalah seorang hiperseks dengan bukti sejarah beliau menikahi sembilan orang wanita.

Pendapat-pendapat di atas diajukan kepada umat Islam sebagai bukti bahwa nabi mereka adalah orang yang bermasalah hingga kitab suci yang dibawanya juga perlu dipertanyakan. Pendapat ini menghasilkan banyak reaksi dari umat Islam yang mempertanyakan kembali hasil penelitian sejarah para orientalis tersebut dengan mengajukan bukti-bukti sejarah yang mengungkapkan sebab-sebab kenapa Muhammad saw melakukan hal tersebut.

Di sisi lain, ada beberapa orientalis yang berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan hasil dari budaya yang telah ada sebelumnya. Budaya-budaya seperti budaya Yahudi, Kristen dan Arab pagan mempengaruhi Muhammad dalam pembuatan kitab suci Al-Qur’an. Seperti Abraham Geiger yang menyatakan bahwa Muhammad memunculkan Al-Qur’an karena terpengaruh dari budaya Yahudi yang sudah ada di kawasan Arab pada saat itu.

Dalam makalah ini akan dijelaskan sosok Abaraham Geiger dan pemikirannya terhadap Muhammad saw serta pendapat yang ia ajukan tentang keterpengaruhan Muhammad terhadap budaya Yahudi dalam Al-Qur’an.

Biografi Abraham Geiger

Geiger merupakan seorang sarjana dan rabbi kelahiran Jerman yang mendirikan gerakan Reform Judaism.  Ia lahir di Frankfurt pada tanggal 24 Mei 1810, ia merupakan anak dari Rabi Michael Lazarus Geiger yang mengajarkan Hebrew Bible, Mishnah, dan Talmud kepadanya sejak usia dini. Sejak kecil telah meragukan ajaran tradisional dari agama Yahudi. Hal ini terjadi ketika ia menemukan pertentangan (kontradiksi) antara sejarah klasik dan pernyataan Bible tentang otoritas Ketuhanan (divine authority).[1]

Pada umur 17 tahun, ia mulai menulis sebuah perbandingan aturan hukum yang terdapat di dalam Mishnah, Bible, dan Talmud. Disamping itu ia juga bekerja dalam pembuatan kamus Mishnaic (Rabbinic) Yahudi. Berkat dukungan finansial dari temannya, ia melanjutkan studi ke University of Heidelberg untuk mempelajari filologi, Syriac, bahasa Yahudi dan bahasa klasik. Disamping itu ia juga menghadiri perkuliahan dalam bidang Perjanjian lama, filsafat, dan arkeologi. Satu semester kemudian ia pindah ke University of Bonn dimana ia bertemu dengan Samson Raphael Hirsch yang mana dari pertemanan tersebut mereka membentuk organisasi mahasiswa Yahudi.[2]

Selama kuliah di University of Bonn, Geiger melakukan studi yang mendalam terhadap bahasa Arab dan Al-Qur’an. Pada masa kuliah ini ia memenangkan hadiah dari tulisannya yang berjudul “Was hat Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen?” (Apa yang telah diambil oleh Muhammad dari ajaran Yahudi?). Tulisan tersebut membawa Geiger memperoleh gelar doktor di University of Marburg.[3]

Geiger terus menulis beberapa essai untuk menunjukkan pengaruh ajaran Yahudi terhadap ajaran Kristen dan Islam. Ia meyakini bahwa dua agama tersebut tidak hanya menggunakan ajaran asli Yahudi, akan tetapi juga sebagai wadah untuk menyalurkan paham monoteis Yahudi terhadap agama pagan di dunia. Diantara hasil karyanya yang cukup berpengaruh adalah Wissenchaftliche Zeitschrift fuer Juedische Theologie (1835-1839), Juedische Zeitschrift fuer Wissenchaft und Leben (1862-1875). Geiger akhirnya memilih untuk menjadi Rabbi karena tidak ada kesempatan untuk menjadi profesor bagi orang Yahudi di Jerman pada saat itu.[4]

Geiger meninggal pada tanggal 23 oktober 1874 di Berlin dengan meninggalkan beberapa hasil karya tulis yang dipublikasikan seperti What Did Muhammad Borrow from Judaism dalam jurnal “The Origins of The Koran: Classic Essays on Islam’s Holy Book” yang disunting oleh Ibn Waraq, Judaism and Islam (1883), dan Appeal to My Community (1842).

Pandangan Geiger Terhadap Al-Qur’an

Geiger merupakan salah satu orientalis yang skeptis terhadap Al-Qur’an dan Muhammad. Ia beranggapan bahwa Muhammad menciptakan Al-Qur’an berdasarkan ajaran-ajaran Yahudi yang sudah ada sebelumnya. Pada masa kehidupan Muhammad, pengaruh Yahudi cukup besar di kawasan Arab.[5]

Kekuatan fisik yang besar dari kaum Yahudi pada saat itu membuat Muhammad melarang umatnya untuk berdebat terlalu jauh dengan kaum Yahudi, seperti yang tertulis dalam Al-Qur’an:

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آَيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Artinya: “Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Q.S. al-An’am ayat 68).

Menurut Geiger, ini merupakan pernyataan yang layak ditandai dimana Muhammad menyatakan bahwa Tuhan mengatakan segala kontroversi terhadap kebenaran atas misinya adalah perbuatan syaitan, merupakan bukti ketakutan Muhammad untuk menerima bantahan dari kaum Yahudi.[6]

Di sisi lain Geiger menyatakan bahwa ada kemungkinan Muhammad mengambil ajaran Yahudi sebagai ajaran Islam melalui interaksi dan diskusi yang dilakukannya dengan kaum Yahudi. Muhammad juga bisa mempelajari agama Yahudi dari legenda yang hidup di masyarakat yang diwariskan secara turun temurun. Geiger berkata:

“Muhammad could attain to no knowledge of the Hebrew Scipture, though on the other hand he had abundant opportunity to study Judaism with its wealth of tradition and legend as it lived in the mouth of the people.

… Muhammad had good reason for incorporating much taken from Judaism in his Quran. By doing so he hopes to strengthen the opinion that he was taught by direct revelation from God, he had also a strong wish to win over the Jews to his kingdom of the faithful upon earth, and then, too, the legends and fanciful sayings of the Jews Harmonised with his poetic nature”.[7]

Geiger melanjutkan dengan menyebutkan beberapa konsep yang diambil Muhammad dari ajaran Yahudi seperti tabut, taurat, jannatu ‘adn, jahannam, ahbar, darasa, sabt, sakinat, taghut, ma’un, masanil, rabbani, furquan,  dan malakut. Empat belas kata ini merupakan bahasa Yahudi yang digunakan dalam Al-Qur’an yang memuat ide-ide tentang petunjuk Tuhan, pewahyuan, dan pengadilan pada hari kiamat merupakan konsep-konsep yang dipinjam Islam dari agama Yahudi. Ia mempertanyakan kenapa Muhammad tidak memakai bahasa Arab jika memang konsep tersebut tidak diambil dari agama Yahudi.[8]

Disamping itu Geiger juga menyebutkan beberapa doktrin dalam agama Islam yang diambil dari Yahudi, yaitu:

  1. Keesaan Tuhan

Dalam hal kepercayaan kepada Tuhan, Geiger meyakini bahwa semua agama di dunia baik yang muncul sebelum Yahudi dan Islam maupun setelahnya memiliki konsep tersebut. Oleh karena itu, tidak pantas jika menyebut bahwa kepercayaan tersebut diambil dari agama lain. Akan tetapi, konsep monoteisme pertama yang ada berasal dari agama Yahudi dan Islam menggunakan konsep yang sama dengan mengambil dasar dari ajaran agama Yahudi. Geiger berkata:

“Of this kind is that idea of the unity of God, the fundamental doctrine of Israel and Islam. At the time of the rise of the latter, this view was to be found in Judaism alone, and therefore Muhammad must have borrowed it from that religion. This may considered as proved without any unnecessary display of learning on the point. The idea of future reward and punishment is common to all religions, but it is held in so many different ways that we shall be obliged to consider it in our argument. Cardinal points of faiths have also passed  from Judaism into Christianity.”[9]

Geiger melanjutkan, untuk membedakan ajaran ini apakah berasal dari Yahudi atau Kristen, kita harus melihat bentuk kepercayaan yang dimiliki oleh dua agama tersebut, serta bentuk yang disampaikan Muhammad kepada kita.[10] Dengan kata lain, Geiger ingin menyampaikan bahwa bentuk ajaran monoteis yang terdapat di dalam agama Islam sama dengan yang terdapat dalam ajaran Yahudi. Hal ini berbeda dengan keesaan Tuhan yang dimiliki oleh umat Kristen dimana keesaan tersebut terbagi pada tiga bentuk yang dikenal dengan Trinitas Ketuhanan.

  1. Penciptaan

Kritikan kedua yang disampaikan Geiger terhadap Muhammad dan Al-Qur’an adalah tentang proses penciptaan. Ia mengakui bahwasanya bukti keberadaan Tuhan dalam setiap agama adalah hasil ciptaan-Nya. Akan tetapi, Muhammad mengambil dasar proses penciptaan dari Bible dengan adanya ayat yang menyatakan bahwa alam semesta diciptakan dalam waktu 6 hari. Akan tetapi pada ayat lain disebutkan bahwa bumi diciptakan dalam 2 hari, gunung dan tumbuh-tumbuhan diciptakan dalam 4 hari.[11]

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مَا مِنْ شَفِيعٍ إِلَّا مِنْ بَعْدِ إِذْنِهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

Artinya: “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?” (Q.S. Yunus ayat 3).

قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الْأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَنْدَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاءً لِلسَّائِلِينَ

Artinya: “Katakanlah: “Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya? (Yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam.” Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” (Q.S. Fushilat ayat 9-10).

Geiger berkata:

“Though this passage is nothing but a flight of poetic fancy, still it shows how little Muhammad knew of the Bible, inasmuch as he is aware of nothing but the general fact that the creation took place in six days, and that he has not any knowledge of each’s day separate work. We have already remarked that he call the seventh day sabt, but does not recognize it is sanctity. It remains here to be added that Muhammad appears to allude to and reject the Jewish believe that God rested on the seventh day.”

Dari sini Geiger menyatakan bahwa terjadi perbedaan yang signifikan dimana Muhammad menolak pandangan bahwa Tuhan beristirahat pada hari ketujuh, seperti yang tertulis dalam Al-Qur’an:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَمَا مَسَّنَا مِنْ لُغُوبٍ

Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan Kami sedikitpun tidak ditimpa keletihan.” (Q.S. Qaf ayat 38).

Geiger menafsirkan ayat tersebut sebagai kebutuhan akan istirahat sangat jelas tersirat karena Tuhan telah bekerja keras selama enam hari dan hanya enam hari dari tujuh hari yang terdapat di dalam Al-Qur’an.[12]

  1. Hari Kebangkitan dan Pengadilan

Dalam hal ini Geiger mengungkapkan bahwa konsep kebangkitan dan pengadilan dalam Al-Qur’an juga merupakan ajaran yang diambil dari agama Yahudi. Dalam ajaran Yahudi dijelaskan tentang ciri-ciri akhir zaman dimana Talmud sunnas 41 dan 141 menyebutkan ilmu agama akan hilang, orang-orang yang bodoh menjadi pemimpin, dan kemaksiatan merajalela.[13]

Selain itu Geiger juga mengungkapkan bahwa kesaksian pada pengadilan di akhirat juga dijelaskan dalam Talmud dimana anggota tubuh manusia akan menjadi saksi atas perbuatannya selama hidup. Hal tersebut sama dengan yang disebutkan di dalam Al-Qur’an.[14]

Lebih lanjut Geiger mengungkapkan bahwa konsep hari akhir dan pewahyuan yang terdapat di dalam Al-Qur’an merupakan adaptasi dari ajaran Yahudi dengan adanya modifikasi yang dilakukan oleh Muhammad. Geiger berkata:

“That from the standpoint of, revealed, religion the belief in the possibility, of revelation is fundamental needs of course no proof, and in this the views, of all revealed religions are alike; yet differences can be found in the manner of conceiving of the revelation, and here, we recognise again that Muhammad derived his view of it from Judaism, of course with some modification.”[15]

  1. Moral dan Aturan Hukum

Dalam aturan moral, Geiger mengungkapkan perbandingan yang terdapat di dalam ajaran Yahudi dan Al-Qur’an tentang sikap kepada orang tua. Dalam Jehammot ayat 6 dijelaskan bahwa Tuhan berfirman: “Hendaklah semua manusia mematuhi perintah orangtuanya, akan tetapi hendaklah semua diantara kamu tetap menjadikan hari sabtu sebagai hari untuk beribadah kepadaku”. Hal ini serupa dengan pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an dalam surah Al-Ankabut ayat 8 yang berisi perintah untuk berbuat baik dan mematuhi perintah orangtua kecuali jika keduanya mengajak kepada syirik dan kemaksiatan.[16]

Dalam hal ibadah, Geiger menjelaskan bahwa ajaran tentang membersihkan badan sebelum melakukan ibadah (shalat) pada agama Islam baik itu menggunakan air maupun tayamum merupakan aturan yang terdapat di dalam Talmud. Geiger berkata: “These Person may not engage in prayer before washing with water, which cleansing is recommended as a general rule before prayer both in the Quran and in the Talmud. So in the Talmud: “He cleanses himself with sand and has then done enough”.[17]

Dari beberapa penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Geiger berusaha untuk mengunggulkan agama Yahudi dibandingkan agama Islam dimana ia mengungkapkan bahwa ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an merupakan ajaran yang diambil dari agama Yahudi. Hal ini dimungkinkan karena posisinya saat itu sebagai seorang Rabbi reformis yang ingin menguatkan pengaruhnya dalam mereformasi agama Yahudi di hadapan pemuka agama Yahudi lainnya.

Analisis Terhadap Pemikiran Abraham Geiger

Geiger dengan menggunakan analisis komparatif antara Al-Qur’an dan kitab suci agama Yahudi (baik itu Talmud, Torah, dan lainnya) dengan merujuk pada kesejarahan yang terdapat dalam agama Islam dan Yahudi. Analisis ini lebih didasarkan pada kondisi geografis dan kebudayaan masyarakat dimana Al-Qur’an diturunkan kepada Muhammad saw.

Permasalahan pertama yang diajukan oleh Geiger adalah apakah Muhammad mengambil (borrowed) ajaran Yahudi dalam membangun agama Islam. Dalam hal ini, sebagaimana yang diketahui oleh seluruh umat Islam, terutama yang menekuni studi Al-Qur’an, hadis, dan sejarah Islam, agama Islam merupakan agama penyempurna dari agama-agama sebelumnya. Bukan hanya agama Yahudi dan Kristen saja, akan tetapi ajaran yang disampaikan oleh Ibrahim selaku bapak dari agama Smith juga tertulis di dalam Al-Qur’an. Tidak bisa dipungkiri bahwasanya ajaran-ajaran Yahudi yang merupakan wahyu dari Allah disampaikan kembali kepada Muhammad agar terlihat penyimpangan yang dilakukan oleh umat-umat sebelumnya dan agar aturan Allah tetap hidup dalam setiap generasi.

Muhammad Anwar Syarifuddin dalam essainya yang berjudul “Al-Qur’an dan Hadis dalam Kajian Kesarjanaan Barat” mengungkapkan beberapa bantahan atas pendapat Geiger yang mengklaim bahwasanya Muhammad meminjam konsep keagamaan Yahudi. Tokoh-tokoh yang mengungkapkan bantahan tersebut diantaranya:

  1. William Saint Clair Tisdall dalam bukunya “The Source of The Qur’an” (1905) mengungkapkan dari segi sejarah kondisi masyarakat Arab pada saat Qur’an turun merupakan masyarakat yang hegemoni. Ia menyatakan bahwa Yahudi bukan satu-satunya yang mempengaruhi Al-Qur’an, akan tetapi disana juga terdapat pengaruh-pengaruh dari adat-istiadat masyarakat Arab pada saat itu, cerita-cerita dari sekte agama Kristen dan sumber-sumber Zoroaster serta tradisi agama Hanif yang berkembang di di Arab pada saat itu.
  2. Tor Andare dalam bukunya “Mohammed The Man and His Faith” (1936) menjelaskan bahwa kepribadian Muhammad adalah sumber orisinil ajaran Islam yang muncul dan berkembang sebagai agama baru. Islam merupakan sebuah energi spiritual dan benih yang hidup berkembang dengan caranya yang unik sehingga menarik energi spiritual lain untuk masuk ke dalamnya. Hal ini bisa dilihat dari budaya Islam yang berkembang hingga saat ini.
  3. A.R. Gibb dalam bukunya “Mohammadenism” (1946) menyatakan bahwa Muhammad merupakan titik kulminasi kerasulan berakhir dan Al-Qur’an merupakan finalisasi dari wahyu Tuhan yang menghapus wahyu-wahyu yang turun sebelumnya.
  4. Louis Massignon mengungkapkan bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu asli yang diterima Muhammad dan merupakan jawaban misterius atas doa-doa Ibrahim atas diri Ismail dengan terungkapnya asal-usul bangsa Arab dari golongan Ismail yang terdapat di dalam Al-Qur’an.[18]
  5. Angelika Neuwirth dalam seminar “The Qur’an and Historical-Literary Critiscm” mengungkapkan bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu Tuhan yang berdialog dengan agama-agama dan tradisi yang berkembang di Arab pada masa pewahyuannya. Oleh karena itu, kesamaan konsep keagamaan antara Islam dan agama lainnya dikarenakan Al-Qur’an berusaha untuk menjawab tantangan dan pertanyaan yang disampaikan oleh pemuka agama-agama yang ada di Arab pada saat itu.[19]

Dari beberapa bantahan di atas dapat diketahui bahwasanya pada masa pewahyuan Al-Qur’an sudah banyak agama yang berkembang di kalangan masyarakat Arab baik itu Kristen, Yahudi maupun agama pagan Arab. Selain itu, tradisi masyarakat Arab yang menyebarkan konsep Hanif dalam keberagamaan mereka merupakan konsep penting yang diadopsi dan direvisi oleh Al-Qur’an. Hal ini membuktikan bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu final yang diturunkan kepada Muhammad sebagai jawaban dan perbaikan atas penyelewangan wahyu-wahyu yang telah diturunkan sebelumnya. Disamping itu, kepribadian Muhammad sebagai pribadi yang jujur dan terpercaya merupakan sumber original bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu yang diturunkan dari Tuhan, bukan konsep yang dipinjam dari agama lain.

Permasalahan berikutnya terletak pada penafsiran ayat-ayat yang memiliki kesamaan dengan pesan antara agama Islam dan agama Yahudi. Seringkali terjadi pemaksaan tafsir agar ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Qur’an sesuai dengan ajaran yang disampaikan oleh Rabbi-rabbi Yahudi, baik yang termuat dalam kitab suci maupun ajaran lisan dalam bentuk ceramah. Seperti penafsirannya terhadap surah Ali Imran ayat 191 yang berbunyi:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

Geiger menafsirkan ayat ini sebagai posisi tubuh dalam beribadah. Ia berkata: “Muhammad like the Rabbies prescribes the standing position for prayer… The Jews were not so strict in this matter, yet they too have the rule that prayer should be offered standings”.[20] Dari munasabah ayat sebelumnya, ayat ini tidak berbicara tentang bagaimana posisi tubuh ketika shalat, akan tetapi lebih kepada perenungan hasil ciptaan Allah agar bertambah iman dan bertambah rasa syukur terhadap segala rahmat yang telah diberikan oleh Allah kepada kita.

Adapun dari segi penulisan, Geiger banyak melakukan kesalahan dalam menunjukkan nomor ayat. Bahkan ayat diatas ditulis dengan nomor ayat 188, sedangkan nomor ayat yang sebenarnya adalah 191.[21] Hal ini merupakan kesalahan fatal dalam penulisan, sekalipun terdapat beberapa perbedaan cetakan Al-Qur’an antara yang satu dengan yang lain.

Kesimpulan

Pandangan Geiger terhadap Muhammad dan penafsirannya terhadap Al-Qur’an cenderung terlihat skeptis-sinis dimana banyak komentar yang ia berikan terkesan merendahkan Islam dan menganggap ajaran Islam maupun Al-Qur’an sebagai hasil jiplakan dari ajaran agama Yahudi. Walaupun begitu, metode yang ia pakai dapat memberikan sumbangan kepada umat Islam agar lebih giat mempelajari Al-Qur’an, tidak hanya taklid terhadap pemikiran-pemikiran umat terdahulu.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim dan Terjemah.

en.wikipedia.org/wiki/Abraham Geiger.

Geiger, Abraham, Judaism and Islam trans. F.M. Young (Delhi: M.D.S.P.C.K Press, 1898).

Syarifuddin, M. Anwar, Kajian Orientalis Terhadap Al-Qur’an dan Hadis (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2012).

Waraq, Ibn, The Origins of The Koran: Classic Essays on Islam’s Holy Book (Leeds: Promoteus Books, 1998).

[1] Saifus Subhan Assuyuthi, Abraham Geiger: Antara Wissenschaft des Judentum dan Kajian Al-Qur’an dalam buku “Kajian Orientalis Terhadap Al-Qur’an dan Hadis” (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2012), hlm. 36.

[2] Lihat en.wikipedia.org/wiki/Abraham Geiger, diakses pada tanggal 6 Oktober 2013 jam 22.00.

[3] en.wikipedia.org/wiki/Abraham Geiger.

[4] en.wikipedia.org/wiki/Abraham Geiger.

[5]  Untuk lebih jelasnya lihat Abraham Geiger, Judaism and Islam trans. F.M. Young (Delhi: M.D.S.P.C.K Press, 1898), hlm. 4-5.

[6] Abraham Geiger, Judaism and Islam, hlm. 7.

[7] Abraham Geiger, Judaism and Islam, hlm.21.

[8] Abraham Geiger, What Did Muhammad Borrow from Judaism dalam jurnal “The Origins of The Koran: Classic Essays on Islam’s Holy Book” (Leeds: Promoteus Books, 1998), hlm. 21.

[9] Abraham Geiger, Judaism and Islam, hlm. 46.

[10] Abraham Geiger, Judaism and Islam, hlm. 46.

[11]Abraham Geiger, Judaism and Islam, hlm. 46.

[12]Abraham Geiger, Judaism and Islam, hlm. 47.

[13] Abraham Geiger, Judaism and Islam, hlm. 54.

[14] Abraham Geiger, Judaism and Islam, hlm. 55.

[15] Abraham Geiger, Judaism and Islam, hlm. 60.

[16] Abraham Geiger, Judaism and Islam, hlm. 65.

[17] Abraham Geiger, Judaism and Islam, hlm. 68.

[18] Muhammad Anwar Syarifuddin, Al-Qur’an dan Hadis dalam Kajian Kesarjanaan Barat” dalam buku “Kajian Orientalis Terhadap Al-Qur’an dan Hadis” (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2012), hlm. 19-20.

[19] Seminar yang diadakan oleh Pusat Studi Qur’an dan Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga pada tanggal 22 November 2013 di gedung Convention Hall UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

[20] Abraham Geiger, Judaism and Islam, hlm. 66.

[21] Lihat footnote Abraham Geiger, Judaism and Islam, hlm. 66.

Leave a comment